ETIAP RAMADHAN tiba
kata “PUASA’ menjadi kata yang paling popular di kalangan muslim Indonesia. “Kata Ramadhan berasal dari bahasa Arab = Ramadhan, jamaknya
Ramadaanaat atau armidaa’, merupakan bulan ke-9 dari tahun Hijriah. Dari
pengertian bahasanya, arti Ramadhan = panas, yang diberikan oleh orang Arab
karena pada bulan 9, padang pasir terasa sangat panas oleh terik matahari.” (: Jul 19, 2010).
Hal ini sesuai dengan kebiasaan orang Arab yg memindahkan suatu istilah dari
bahasa asing ke bahasa mereka yg sesuai dengan keadaan yg terjadi pada masa
tersebut.
Redaksi dari surat al
Baqarah 185 yang menyebutkan “syahru Ramadhana” dan redaksi hadis
yang menjelaskan “imaanan wahtisaaban man shama Ramadhana”, harus
dibaca bahwa puasa tidak bisa dilepaskan dari Ramadan, dan Ramadan tak bisa
dipisahkan dengan puasa.
Dengan kalimat lain
Ramadan tanpa puasa adalah batal sebagai bulan, dan puasa tanpa Ramadan adalah
kurang bermakna sebagai pengabdian (ibadah). Ada banyak argumen untuk
menjelaskan, mengapa misalnya, Ramadan identik dengan puasa dan sebaliknya
puasa identik dengan Ramadan
Antara lain pendapat
yang menyatakan bahwa kata atau nama Ramadhan merupakan salah satu nama Allah.
Namun pendapat yang mungkin paling sahih, adalah pendapat yang menyandarkan
kepada asal usul kata Ramadhan. Berasal dari kata dasar r-m-dh atau
ra-mim-dhat, Ramadhan sebagai kata memiliki arti panas.
Dalam struktur Bahasa
Arab yang membolehkan makna pada kata berkembang maka panas yang dimaksud oleh
kata ra-mim-dhat bisa juga berarti panas yang menyengat, menjadi panas, sangat
panas, atau hampir membakar.
Ungkapan seperti qad
ramidha yaumuna dalam Bahasa Arab memiliki pengertian bahwa hari telah menjadi
sangat panas, sementara kata ar ramadhu berarti panas yang diakibatkan sinar
matahari.
Singkat kata, menurut
Luthfi, Ramadhan sudah menjadi ism ghairi munsharif atau makna dan maksud kata
itu sudah cukup terkenal sehingga tidak perlu lagi mengikuti kaidah-kaidah tata
Bahasa Arab.
Keterangan-keterangan
tentang asal usul kata Ramadhan semacam itu, bisa dibaca dan dijumpai antara
lain di dalam kamus Mukhtaru ash Shihhah yang ditulis oleh oleh Muhammad bin
Abu Bakar bin Abdul Qadir al Razi, atau di dalam buku Lisanul Arab karya
Muhammad bin Mukarram bin Mandzur Al-Mashri.
Dua penulis besar
itu, hidup pada periode yang hampir bersamaan yaitu antara tahun-tahun
pertengahan abad keenam hijriah hingga tahun-tahun awal abad ketujuh hijriah.
***
Puasa, kata tersebut, adalah salah satu elemen dari rukun Islam, yang menjadi
satu-satunya kata yang tidak berasal dari Bahasa Arab. Kenyataan itu berbeda
dengan kata “syahadat”, “shalat”, “zakat” dan “hajj” yang kemudian diserap oleh
Bahasa Indonesia menjadi syahadat, salat, zakat dan haji— yang semuanya berasal
dari khazanah Bahasa Arab.
Kata puasa berasal
dari Bahasa Sansekerta. Memang ada sebagian orang yang menggunakan kata salat
dan sembahyang untuk menyebut salat. Namun baik salat maupun sembahyang masih
memiliki relasi makna.
Sembahyang misalnya,
berasal dari dua kata sembah dan hyang yang berarti menyembah Tuhan (Allah).
Kata itu sengaja diserap dan kemudian digunakan oleh para penyebar Islam di
Nusantara untuk menarik minat penganut Hindu yang telanjur datang terlebih
dahulu ke Indonesia.
Melalui pendekatan
kata tersebut, makna kata salat juga tak berkurang dari makna awalnya yaitu
sebagai sebuah perbuatan untuk menyembah Allah. Tapi puasa?
Sama dengan kata
sembahyang, kata itu berasal dari Bahasa Sansekerta. Berasal dari dua kata yaitu
upa yang berarti dekat dan wasa yang berarti Yang Kuasa— makna kata puasa yang
asli adalah dekat kepada Tuhan yang kuasa.
Jadi upawasa atau
yang kemudian diserap dan dilafalkan menjadi kata “puasa” di dalam Bahasa
Indonesia tidak lain adalah sebuah perbuatan untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan.
Dengan
pengertian itu, kata puasa sebenarnya tak berhubungan secara langsung dengan
makna asli dari kata shaum yang dikehendaki dalam Bahasa Arab yaitu menahan
diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan badan, dan tidak
berbicara.
Tak lalu penggunaan
kata puasa menjadi tak bermakna. Secara kelaziman, orang yang berhenti untuk
makan, untuk minum, untuk berhubungan badan, dan untuk bicara seharusnya memang
dekat kepada Tuhan (puasa).
Apalagi dalam
perkembangannya, makna dari kata puasa juga sudah berubah, dari semula sebagai
dekat kepada Tuhan menjadi menghindari makan dan minum dengan sengaja. Paling
tidak, begitulah tafsir tentang kata puasa menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia.
Kata saum makna
aslinya berpantang dalam arti sebenar-benarnya (al-imsaku ‘anil-fi’li),
mencakup pula berpantang makan, bicara, dan berjalan. Seekor kuda yang
berpantang makan dan berjalan, disebut saim.
Demikian pula angin
pada waktu mereda, dan siang hari pada waktu mencapai tengah-tengahnya, juga
disebut saum (R). Kata saum dalam arti berpantang bicara, digunakan oleh Qur’an
Suci dalam wahyu Makkiyah permulaan: “Katakanlah, aku bernazar puasa
kepada Tuhan Yang Maha-pemurah, maka pada hari ini aku tak berbicara dengan
siapa pun” (19:26).
Menurut istilah
syari’at Islam, kata saum atau siyam berarti puasa, atau berpantang makan dan
minum dan hubungan seksual mulai waktu fajar hingga matahari terbenam.
Hal yang kurang lebih
sama juga terjadi pada Bahasa Inggris. Bahasa itu sebenarnya tak memiliki kata
khusus untuk mengganti kata shaum. Kata fasting yang dianggap mewakili makna
puasa, kalau digunakan untuk menjelaskan sebuah perbuatan yang sengaja tidak
makan, tidak minum akan sulit dicerna oleh mereka yang dalam kesehariannya
berbahasa Inggris.
Persoalannya karena
pada mereka tidak lazim untuk melakukan fasting sehingga kata itu sangat jarang
digunakan dan terabaikan. Sebaliknya kata fasting akan mudah dipahami jika
terutama disertai konteks tentang Ramadan. Singkat kata, bagi mereka yang
berbahasa Inggris (orang Barat) fasting baru bisa bermakna jika terutama
disertai dengan kata Ramadhan.
Identik Kata dengan
Makna Lalu apa yang sebetulnya yang disebut sebagai puasa atau fasting dalam
konteks shaum? Kata dasar shaum atau shiyam adalah shat-wa-mim. Dua kata itu
secara bahasa berarti menahan (imsaak).
Dalam
Fathul al Qadir, al Syaukani memaknai kata itu sebagai sebuah tindakan untuk
tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Namun arus besar dari ahli
tafsir sepakat bahwa makna shaum yang paling asli adalah tidak makan, tidak
minum, tidak berhubungan seks, dan tidak berbicara. Makna untuk tidak makan,
tidak minum, tidak berhubungan badan, dan tidak berbicara pada kata shaum itu
bisa melekat secara sendiri-sendiri, maupun melekat sebagai satu kesatuan.
Argumen dari arus besar ini adalah bunyi dari redaksi
surat al Maryam ayat 26 yang menyebut, “…aku telah bernazar kepada
Pemelihara yang Penuh Kasih untuk menahan (shauman) bicara” Kata
shauman dalam ayat tersebut merupakan indikasi bahwa makna kata shaum bukan
hanya menyangkut urusan menahan lapar dan dahaga melainkan juga untuk menahan
bicara.
Aturan saum dalam
agama Islam
Dalam agama Islam,
aturan saum itu ditetapkan setelah aturan shalat. Kewajiban saum itu ditetapkan
di Madinah pada tahun Hijrah kedua, dan untuk menjalankan ini, ditetapkanlah
bulan Ramadan. Sebelum itu, Nabi biasa melakukan saum sunnat pada tanggal 10
bulan Muharram, dan beliau menyuruh pula supaya para sahabat berpuasa pada
hari-hari itu. Menurut Siti ‘Aisyah, tanggal 10 Muharram dijadikan pula hari
puasa bagi kaum Quraisy (Bu. 30:1).
Jadi asal mula adanya
aturan saum dalam Islam, ini terjadi sejak zaman Nabi masih di Makkah. Tetapi
menurut Ibnu ‘Abbas, setelah Nabi hijrah ke Madinah, beliau melihat kaum Yahudi
bersaum pada tanggal 10 Muharram, dan setelah beliau diberitahu bahwa Nabi Musa
suka menjalankan puasa pada hari itu untuk memperingati dibebaskannya bangsa
Israel dari perbudakan raja Fir’aun, beliau lalu menyatakan bahwa kaum Muslimin
lebih dekat kepada Nabi Musa daripada kaum Yahudi, maka beliau menyuruh agar
hari itu dijadikan hari saum (Bu. 30:69).
***
Terlanjur pemahaman
Puasa adalah seperti yang sudah dilakukan oleh umat muslim maka catatan ini
saya turut serta mengunakan kata Puasa sebagaimana pengertiannya dalam bahasa
Indonesia.
Adapun aturan puasa
dalam bulan Ramadan, itu dimaksud untuk melatih disiplin tingkat tinggi bagi
jasmani, akhlak dan rohani, dan ini nampak dengan jelas dengan diubahnya bentuk
dan motif puasa, yaitu dengan dibuatnya puasa menjadi aturan yang permanen,
dengan demikian, puasa pada bulan Ramadan tak ada hubungannya dengan pengertian
puasa pada waktu menderita kesusahan, kemalangan dan berbuat dosa, bahkan dalam
Qur’an dijelaskan, bahwa tujuan puasa yang sejati ialah “agar kamu menjaga diri
dari kejahatan (tattaqun)”.
Kata tattaqun berasal
dari kata ittaqa artinya, menjaga sesuatu dari yang membahayakan dan bisa
melukainya, atau menjaga diri dari yang dikuatirkan yang akan berakibat buruk
pada dirinya (R).
Akan tetapi selain
arti tersebut, kata itu digunakan oleh Qur’an Suci dalam arti menetapi
kewajiban, seperti tersebut dalam 4:1, dimana diuraikan bahwa kata arham
(ikatan keluarga) dijadikan pelengkap (object) dari kata ittaqu; demikian pula
kata ittaqullah dimana Allah dijadikan pelengkap bagi kata ittaqu; oleh sebab
itu arti kata ittaqa dalam hal ini ialah menetapi kewajiban.
Menurut bahasa
Qur’an, orang yang bertaqwa (muttaqin), ialah orang yang telah mencapai derajat
rohani yang amat tinggi. “Allah adalah kawan orang-orang yang bertaqwa
(muttaqin)” (45:19).
“Allah mencintai
orang muttaqi” (3:75; 9:4, 7). “Kesudahan yang baik adalah bagi orang muttaqin”
(7:128; 11:49: 28:83). “Orang muttaqin akan memperoleh tempat perlindungan yang
baik” (38:49).
Masih banyak lagi
ayat yang menerangkan bahwa menurut Qur’an, orang muttaqi ialah orang yang
telah mencapai derajat rohani yang tinggi. Oleh karena tujuan puasa itu untuk
menjadi orang muttaqi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perintah Qur’an
menjalankan puasa itu bertujuan agar orang dapat mencapai derajat rohani yang
tinggi.
Disiplin rohani
[pemahaman ambigu, bagaimana Rohani diketahui disiplinnya? Rohani bukan Materi
kan.]
Puasa menurut Islam,
terutama sekali untuk melatih disiplin rohani. Dalam dua tempat (9:112; 66:5), Qur’an
Suci menerangkan bahwa orang yang puasa itu disebut sa-ih (berasal dari kata
saha, makna aslinya, bepergian), artinya musafir rohani. Menurut Imam Raghib,
jika orang menjauhkan diri, bukan saja dari makan dan minum, melainkan pula
dari segala macam kejahatan, ia disebut sa-ih (R).
Pada waktu Qur’an
Suci membicarakan puasa bulan Ramadan, tercantum satu ayat yang khusus
menerangkan dekatnya manusia pada Allah, oleh karena dekatnya manusia dengan
Allah itulah yang dituju oleh puasa. Lalu pada ayat itu ditambah kata-kata: “Maka
hendaklah mereka memenuhi seruan-Ku (dengan menjalankan puasa), dan beriman
kepada-Ku, agar mereka dapat menemukan jalan yang benar” (2:186).
Dalam Hadits juga ditekankan bahwa tujuan puasa ialah
untuk mencari ridla Ilahi. “Orang yang menjalankan puasa dalam bulan
Ramadan, karena iman kepada-Ku dan mencari keridlaan-Ku” (Bu. 2:28).
Nabi Suci bersabda: “Puasa itu perisai, maka dari itu orang yang sedang
puasa janganlah berbicara kotor dan sesungguhnya bau mulut orang yang puasa itu
lebih harum, menurut Allah, daripada minyak kesturi, ia berpantang makan dan
minum dan syahwat hanya untuk mencari ridla-Ku; puasa hanyalah untuk-Ku” (Bu.
30:2).
Tak ada godaan yang
lebih besar daripada godaan untuk memenuhi gejolak makan dan minum apabila
makanan dan minuman telah tersedia, namun godaan dapat diatasi, bukan hanya
sekali atau dua kali, yang seakan-akan hanya kebetulan saja, melainkan
berhari-hari sampai satu bulan lamanya, dengan tiada tujuan lain kecuali untuk
mendekatkan diri kepada Allah.
Ia dapat saja
menikmati makanan yang lezat, namun ia tetap memilih lapar; ia mempunyai
minuman yang segar, namun ia tetap mengeringkan tenggorokkannya menahan dahaga.
Ia tak mau menyentuh makanan dan minuman hanya karena ia sadar bahwa itu
perintah Allah.
Di dalam rumah yang
sepi, tak ada orang yang tahu bahwa ia bisa membasahi tenggorokannya dengan
segalas minuman segar, namun dalam batinnya telah berkembang perasaan dekat
kepada Allah, hingga ia tak mau meneteskan setetes air pun ke dalam mulutnya.
Apabila datang godaan
baru, ia pasti dapat mengatasi itu, karena pada saat-saat kritis, terdengar
suara batin: “Tuhan ada di sampingku, dan Tuhan melihatku”.
Tak ada ibadah yang
dapat mengembangkan perasaan dekat kepada Allah dan perasaan berada di
samping-Nya, selain ibadah puasa yang dijalankan terus-menerus hingga satu
bulan lamanya.
Adanya Allah, yang
bagi orang lain baru pada tingkat iman, tetapi bagi dia sudah merupakan
realitas, dan kenyataan ini hanya dapat dicapai dengan disiplin rohani yang
menjadi dasarnya puasa.
Kesadaran akan adanya
hidup yang tinggi, lebih tinggi dari-pada hidup yang hanya untuk makan dan
minum, telah menghayati dirinya, dan hidup itu ialah kehidupan rohani.
Disiplin Moral
Puasa itu juga
dasarnya disiplin moral, karena, puasa merupakan tempat latihan, dimana manusia
diajarkan akhlak yang tinggi, yaitu ajaran supaya manusia siap menghadapi
penderitaan yang amat berat dan tahan menghadapi cobaan berat, dan pantang
menyerah kepada sesuatu yang terlarang baginya.
Ajaran itu diulang
setiap hari hingga sebulan lamanya, dan sebagaimana latihan jasmani dapat
memperkuat tubuh manusia, demikian pula melatih akhlak dengan puasa, yaitu
menjauhkan diri dari segala sesuatu yang terlarang, akan memperkuat segi moral
bagi hidupnya.
Pengertian bahwa
segala sesuatu yang terlarang harus disingkiri, dan segala sesuatu yang buruk
harus dibenci, ini hanya dapat dikembangkan melalui puasa. Dengan jalan puasa
dapat dicapai pula aspek yang lain bagi perkembangan akhlak manusia, yaitu
menaklukkan nafsu jasmaninya.
Manusia mengatur waktu
makan dengan berselang-seling, dan ini memang aturan hidup yang baik; tetapi
puasa selama sebulan mengajarkan kepadanya ajaran yang tinggi, yaitu bahwa ia
bukan lagi menjadi budak nafsu makan dan nafsu jasmaninya, melainkan ia menjadi
majikannya, karena dapat mengubah haluan hidupnya sesuai dengan kemauannya.
“Manusia yang dapat
menguasai nafsunya, yaitu mengendalikan nafsu itu sesuai dengan keinginannya,
bahkan kekuatan batinnya begitu kuat sehingga ia dapat memerintah nafsunya, ia
adalah manusia yang telah mencapai derajat akhlak yang paling tinggi.”
Nilai Sosial Ibadah Puasa
Sebagaimana diuraikan
dalam Qur’an Suci, puasa itu selain mempunyai nilai-nilai moral dan rohani,
mempunyai pula nilai sosial yang lebih efektif daripada nilai sosial shalat.
Pada waktu shalat, semua penduduk di sekeliling Masjid, baik kaya maupun
miskin, orang besar maupun orang kecil, shalat berjamaah lima kali sehari di
Masjid dalam kedudukan yang sama, dengan demikian, pergaulan masyarakat yang
sehat dapat dicapai melalui shalat.
Tetapi dengan tibanya
bulan Ramadan, maka gerakan massa menuju persamaan derajat bukan saja terbatas
di sekeliling Masjid, atau di seluruh negeri, melainkan mencakup seluruh Muslim
di dunia.
Mungkin
orang kaya dan miskin berdiri bahu-membahu di Masjid, tetapi di rumah, mereka
hidup dalam lingkungan keluarga yang jauh berbeda. Si kaya duduk menghadap meja
yang penuh makanan enak, dan dengan makanan yang lezat ini mereka mengisi
perutnya empat sampai enam kali sehari, tetapi si miskin, tak kecukupan untuk
makan dua kali sehari.
Bagi si miskin
seringkali merasakan lapar, sedang perasaan semacam ini tak pernah dirasakan
oleh si kaya. Lalu bagaimana agar si kaya ikut merasakan rasa lapar seperti si
miskin dan menaruh simpati kepadanya? Jadi dalam rumah tangga terdapat
perbedaan sosial yang menyolok antara dua golongan masyarakat, dan rintangan
ini hanya dapat disingkirkan dengan membuat si kaya ikut merasakan rasa lapar
seperti saudara-saudaranya yang miskin, yang tempo-tempo satu hari penuh tak
makan, dan pengalaman semacam itu harus mereka rasakan terus-menerus, bukan
satu atau dua hari saja, melainkan selama satu bulan penuh.
Dengan demikian,
orang kaya dan miskin di seluruh dunia Islam menjadi sama kedudukannya, yaitu
hanya diperbolehkan makan dua kali sehari, yakni dikala buka dan sahur saja,
dan walaupun makanan si kaya jauh berlainan dengan makanan si miskin, tetapi si
kaya telah dipaksa untuk mengurangi menunya dan dipaksa makan yang lebih
sederhana, sehingga si kaya semakin dekat dengan saudara-saudaranya yang
miskin.
Sudah tentu perilaku
semacam itu akan menimbulkan rasa simpati terhadap kaum miskin. Oleh sebab itu,
khusus dalam bulan Ramadan, orang diperintahkan untuk banyak mengeluarkan
sedekah, terutama sedekah fitrah guna menolong kaum fakir miskin.
Pinjam Modal Sekaligus Beramal melalui“SPP”
(Simpan Pinjam Perempuan) PNPM
Info Lengkap ,Please Call …..
*0813-421-086-92 *0821-900-358-98 *0852-559-732-65
Unit Pengelola Kegiatan ( UPK )
PNPM-MPd
Kec.Baraka
Atau kunjung situs resmi kami di :
redaksi Upk Baraka